The Last Show; Pentas Terakhir dari Komika Terakhir

Menonton penampilan para komika Magelang ini seperti menyesap kopi racikan barista seluruh penjuru dunia. Saya mendapatkan inti pengalaman yang bervariasi.

Saat Aziz tampil, saya seperti ditarik ke masa kecil. Aziz piawai memainkan materi-materi generasi 90an. Lebih spesifik lagi, mainan bocah. Jangan ditanya gesturnya. Aziz adalah rekaman tren generasi 90an yang berjalan.

Bila Fadil naik panggung, saya merasakan ambisi menggelegak yang terbungkus dalam tubuh tambun dan wajahnya yang polos. Mirip si Panda dalam Kung Fu Panda. Dia hanya perlu melumerkan sikapnya supaya layak menjadi “Pendekar Naga”.

Sedangkan bila Rizky yang berkomedi, saya takjub dengan kelihaiannya membaca pola-pola materi stand up comedy. Dalam usianya yang 14 tahun (3 tahun lebih muda dari saya), Rizky telah menjadi komika dengan teknik yang komplet. Ibarat motor, mesinnya sudah oke. PR Rizky sekarang tinggal rajin-rajin mengisi bahan bakar komedi yang beroktan tinggi.

Di sudut lain, stand up comedy Magelang masih punya sesepuh yang belum habis. Para ksatria komedi yang masih belum waktunya untuk madeg pandhita. Belum saatnya para pendekar ini menjadi pertapa; bersemadi dan hanya turun gunung bila perlu. Belum tiba waktunya para Hokage ini mengambil jarak dengan dunia stand up comedy. Karena terpenting, sampai saat ini stand up comedy magelang masih membutuhkan mereka.

Contohnya, mereka perlu ‘memberi pelajaran’. Menjadi sparring partner bagi komika-komika baru.

Ya, dalam “Komika Terakhir: The Last Show” alias “The Last Comic, The Last Show” malam nanti, komunitas kami ‘terpecah’. Menjadi dua kubu. Klan “Oldies” yang terdiri dari Aziz, Tidar, Wenwen, Mufid, dan Dedi. Klan “Newbies” yang beranggotakan Masna, Rizky, Fadil, Michael, dan Ariza.

Mereka akan mengadu ilmu kanuragan di panggung Gedung Kyai Sepanjang. Bersamaan dengan Fesbuk: Festival Buku helatan Perpus Kota Magelang.

Di The Last Show nanti jam 7 malam, para komika Magelang akan mempertunjukkan kelayakan. Satu pihak ingin membuktikan bahwa merekalah “The Last Comic” sesungguhnya. Pihak lain ingin memberi pernyataan tegas bahwa mereka belum thelast (dibaca telas).

Jadi, hadirilah pertandingan akbar tahun ini. Nikmati semabuk-mabuknya berbagai inti pengalaman tawa yang disajikan komika Magelang.

Inti pengalaman yang terkuak berkat diseduh perjuangan ekstra keras. Diaduk-aduk dengan nuansa kompetisi yang ketat. Menghasilkan aroma yang begitu nikmat. *malah iklan kopi

Tentu saja disajikan dalam cangkir yang putih bersih. Sebersih niat kami mengadakan kompetisi internal Komika Terakhir ini. Tidak ada pretensi apa-apa selain mengajak Anda tertawa bersama.

Kedalaman Referensi Stand up Comedy

Kedalaman Referensi Komedi

Berdasar pengamatan dan pengalaman, saya bisa menangkap beberapa tipe komika berdasar kedalaman referensinya. Tipe-tipe ini muncul secara bergantian dalam masing-masing komika. Pada pagi hari, Anda menjadi komika tipe A, di sore hari, Anda bisa menjelma tipe lainnya. Lalu apa saja tipe-tipe itu?

Saat mencari materi, Anda akan mengalami tiga tipe ini.

  1. Saltem

Saltem di sini bukan salah tempat sebagai saudara saltum, salah kostum. Bukan pula nama pasar bunga yang tidak menjual bunga. Saltem di sini adalah salin tempel. Terjemahan dari copy paste.

Banyak komika yang awalnya sekedar saltem materi komika lain. Pada dasarnya tindakan ini tidak diperkenankan. Tapi, penyikapan pada pelaku haruslah didasari dengan cara pandang yang jauh lebih bijak.

Sebagaimana kita mesti berhati-hati. Jangan-jangan dia tidak tahu itu salah, terpaksa, sudah izin ke pemilik materi, atau tidak tahu cara membuat materi. Masing-masing alasan menuntut penyikapan yang berbeda.

Soal ‘tidak tahu itu salah’ ini benar-benar terjadi lho. Di grup Komunitas Stand Up Comedy Magelang pernah ada yang komen,”Ada yang bagi-bagi materi nggak? Mau stand up di hajatan nih.”

Pada kesempatan lain, saya melempar bit saat nge-MC. Partner saya, MC senior, berkata,”Wah, dapet materi satu nih.”Seolah-olah saya dan beliau sedang bertukar jurus agar masing-masing lebih sakti. Wajar karena memang dunia MC pada umumnya belum mengenal hak cipta seperti ini.

Intinya, masih banyak menganggap, menonton performa komika seperti membeli buku kumpulan humor. Dia bebas memakai joke itu setelah membacanya.

Pada tipe saltem, komika meniru mentah-mentah joke yang sudah matang.

  1. Tiru Pola

Komika yang paham teori akan mengenali berbagai pola materi. Saat nonton perform komika lain, dia komentar,”Oh, itu rule of three. Itu one liner. Callback. Oh, setup semua. Wah, ga kemakan. Ga kaya yang tadi LPMnya gila!”

Dia akan mencipta berdasar pola-pola itu. Nah, untuk memperkaya referensinya, dia pun mengamati pola-pola komika lain.

Pengayaan pola penting dilakukan agar saat open mic di depan komika lain kita tidak mendapat komentar,”Cieee ketebak.”

Hasil pengamatan ini adalah bit yang pola sama dengan set-up dan/ atau punchline yang berbeda.

Tindakan ini sah.

  1. Curi Kunci

Mencuri kunci joke lazim dilakukan komika yang sudah beberapa kali open mic. Dia sudah mampu membedah joke. Dia senang mengulik apa yang membuat bit komika lain lucu. Mirip seperti tahap sebelumnya, meniru pola.

Tapi, dia bisa memodifikasi dengan jauh lebih halus. Berkat pengamatan yang lebih mendalam dan jernih tentang apa sebenarnya yang membuat audience tertawa. Dia mampu menyingkap misteri di balik pola-pola joke.

Contoh,

Baca lebih lanjut

Penyempurna Karya

Penonton Komika Terakhir kemarin cukup keras. Para komika perlu memukul (nge-punch) berkali ulang agar penonton tertawa. Tapi, ada satu komika yang sejak naik panggung, dia langsung bisa mencairkan suasana.

Dari cara menyampaikan materi-materinya, komika ini terlihat cukup matang ditempa berbagai medan tawa. Tanpa ragu dia melibas hackler yang mengganggu jalannya pertandingan.

Ada dua tipe hackler. Pertama, yang berminat dengan acara tapi cari-cari perhatian. Kedua, yang tak peduli lalu membuat kehebohan sendiri. Malam itu Sang Komika berhasil mengalahkan hackler tipe kedua.

Serombongan muda-mudi yang asyik tertawa di dunia mereka sendiri diserangnya dengan roasting-roasting yang memabukkan. Sang Komika berhasil merebut perhatian, membawa mereka ke dunia kami, lalu menjadikan mereka menertawai ulah mereka sendiri. Bahkan, ada satu hackler yang ‘murtad’ dengan terlibat dalam sesi Improv comedy.

Tunggu. Sang Komika masih belum selesai. Sekarang giliran atensi seluruh komika yang dikuasainya. Bagaimana bisa?

Sudah sejak babak 1, komika Magelang banyak yang menggunakan multimedia maupun properti. Sebagian besar lancar, tapi beberapa sering miss. Salah nge-play lagu, properti tak berfungsi, maupun slide foto terlalu cepat keluar. Sedikit berantakan. Nah, Sang Komika ini baru kali itu menggunakan multimedia di Komika Terakhir. Tapi, langsung rapi.

“Saya punya aplikasi. Namanya Camera 369.”, dengan tenang dia membawa pandangan kami ke projector viewer. Seolah yakin ‘karya’nya kali ini akan membuat kami terpesona.

Dan dia memang mengemasnya dengan ciamik. Penataan grafisnya begitu rapi dan kelihatan tidak asal bikin. “Minimal flash-lah”, pikir saya. Tapi ternyata, dia hanya menggunakan power point! Ini powerful point kedua.

Paling tidak, ada 3 bit tercipta dari ‘aplikasi’ itu. Menghasilkan minimal 7 titik tawa. Set up dan punchline-nya tidak terduga. Saya tidak bisa menggambarkannya dengan baik. Saksikan sendiri dan Anda akan terperangah.

Selesai dengan gimmick multimedianya, dia tetap menghajar kami bertubi-tubi dengan materi yang sekali lagi, ketahuan telah disempurnakan berkali-kali. Pokoknya, kami semua mabuk tawa deh! Bayangkan, saya sendiri pun sampai lupa mencatat nilai! Saking nikmatnya performa Sang Komika.

Kalau di babak sebelumnya ada komik yang meraih nilai sempurna, pada malam itu, saya malah tidak sempat memberi penilaian sama sekali. Saking hebohnya ketawa. Because it was really more than perfect.

Saat dia menutup penampilannya, kami semua memberikan standing applause. Benar-benar penampilan yang luar biasa.

Beyond perfection.

***

Paling tidak, ada 3 poin plus yang bisa kita pelajari dari Sang Komika itu.

  1. Kepercayaan diri yang berlimpah untuk menguasai audience.
  2. Kerapian menyiapkan gimmick.
  3. Perhatian penuh nan rinci pada penulisan materi.

Baca lebih lanjut

Perjalanan untuk Menjadi Terakhir telah Dimulai

Sekarang jam setengah sepuluh malam. Atau lebih. Atau kurang. Tak ada yang peduli. Babak pertama Komika Terakhir telah usai. Komika-komika turun panggung. Mereka yang lolos dan yang tidak berkumpul bersama. Ngobrol sebelum pulang.

Sesi adu tawa telah selesai. Sekarang kami sibuk bertanya. Pertanyaan-pertanyaan yang wajar mengiringi kompetisi.

Sebagian bertanya,”Beneran aku lolos?”

“Tema minggu depan apa?”

“Tadi materiku gimana?”

“Mbaknya yang cantik tadi, besok dateng lagi ga ya?”

Ada juga komika yang sedih. Benar-benar sedih. Mereka ter-kick out dari kompetisi ini.

Kompetisi? Ya. Saya baru menyadari aura kompetisi begitu kental di panggung Magelang.

Anye, komika wanita yang hadir pada malam itu berkomentar,”Bagus kok. Suasana kompetisinya terasa. Ada yang nangis..”

Mufid, salah satu peserta berkomentar,”Kalo ga dibuat sistem kompetisi seperti ini, pasti banyak yang ga semangat bikin materi. Ga serius untuk naik panggung.”

Keseriusan mereka menyulitkan saya.

Semua yang nge-bomb kemarin, sekarang nge-kill! Kami semua bangga. Progressnya terasa. Buktinya, Coftof riuh dengan tawa selama satu setengah jam penuh. LPM mereka tinggi-tinggi. Namun, hanya ada mas Agus yang meraih nilai sempurna pada malam itu. LPM prima, materi segar, dan delivery terjaga.

Mari kita flashback babak 1 #Komika Terakhir ini.

21.05 Waktu Indonesia Bagian

Saya kembali menatap kertas daftar penilaian. Berkat pengalaman, saya membuat keputusan lebih mudah dan cepat. Tiga komika yang kick-out sudah ditentukan. Tiga komika yang saya yakin, akan kembali ber-progress setelah kick-out ini. Mari kita tunggu proses mereka.

Tapi, kawan-kawan mungkin mengira saya akan memerlukan waktu lama untuk memutuskan. Seperti saat babak pre-show. Maka, mereka bermain improv cukup lama. Ah, improv comedy. Sudah cukup lama ada improv comedy di sini. Saya tidak menyangka di komunitas kecil seperti ini, selalu ada inovasi. Lihat, Tidar, Gilang, dan Anton sedang bermain gonta-ganti di-mix acara hipnotis Uya kuya! Mereka mengajak mbak-mbak cantik yang tadinya jadi heckler ke atas panggung. Wanita itu kembali memperkenalkan siapa dirinya di atas panggung.

Siapa dirinya di atas panggung?

Lalu, saat kita tidak di atas panggung, siapakah dia? Siapakah kita?

Apakah kita menghayati peran di atas panggung? Entah sebagai pakar jomblo, LDR, orang gendut, orang Tiongkok, playboy, santri, orang Jambi, mahasiswa abadi, atau orang tua?

Maka, penelusuran diri ini perlu rutin komika lakukan. Caranya mudah. Seperti menulis diary. Tuliskan saja apa-apa yang kita alami. Entah berupa cerita, boleh berupa poin-poin. Sekedar menuliskan. Tak perlu mencari setup apalagi punchline.

Seperti ngeblog. Seperti menulis personal-literature.

Benturkan karakter kita dengan berbagai adegan. Kelak dari situ, kita akan menggali materi-materi yang berharga. Mungkin keresahan kita sama. Soal relationship, BBM, orang tua. Tapi oh tapi. Kita akan menemukan sudut pandang yang berbeda. Cara cowok gahar menghadapi adegan diputusin tentu berbeda dengan cara cowok solehah ditalak. Termasuk bila ‘cowok gahar’ itu hanya persona. Kita tetap bisa melatih dengan metode ini.

Yang jelas, materi-materi yang persona(l) inilah yang membedakan stand up comedy dengan komedi lainnya. Materi-materi seperti ini pula yang membuat kita semakin orisinal. Inilah asiknya di dunia stand up comedy ini, semakin kita menelusuri diri (personal) atau menguatkan karakter panggung (persona), semakin kita orisinal, dan ujung-ujungnya, semakin lucu.

Sekali dayung, 2-3 pulau terlampaui. Makin jujur pasti, makin lucu iya.

Getting persona-l inilah yang perlu dilakukan komika Magelang. Karena, setiap kita menyimpan sisi kepribadian yang menanti ditemukan. Sehingga, komika baru akan menemukan stylenya.

Komika yang sudah punya persona pun akan terkejut. “Oh, ternyata selain ….. aku juga punya sisi yang ….. ” “Ke mana aja aku baru tahu? Untung ga jadi stuck di sini-sini aja.”

Karena memang, Komika Terakhir ini seperti perjalanan menemukan jati diri. Caranya, sekali lagi, benturkan karakter dengan adegan. Sama-sama kick out, tapi beda karakter beda responnya. Bukan kick-out yang menentukan takdir komedi kita. Melainkan karakter, cara kita menyikapinya.

***

Kembali saya menatap panggung. Kembali pertanyaan itu muncul. Saat ini kita mungkin bingung bila ditanya,”Saat kamu ga open mic, kamu SEBENERNYA jadi apa sih?”

Tapi, suatu saat komika Magelang ini akan mampu menjawab pertanyaan itu dengan gamblang, percaya diri, dan witty. Seperti pertanyaan kapten Amerika pada Tony Stark. Saat tidak menjadi Iron Man, kamu apa sih Tony Stark?

 

Captain America:
Big man in a suit of armor. Take that away then what are you?
Iron Man:
A Genius Billionaire Playboy Philanthropist.

 

NB:  selain video di bawah, tonton juga video ini. Untuk melihat sosok Robert Downey Jr yang tak pernah berhenti menelusuri diri. Baik di atas panggung, atau di keseharian. Menjadikannya performer multi-skill.

 

Pre-Show Komika Terakhir yang Mengejutkan

Mengejutkan.

Itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan Preshow Komika Terakhir. Semalam kami melihat dua jenis komika. Ada yang masih mencari, ada yang sudah punya jurus ataupun persona. Penilaiannya tentu tidak disamakan. Komika yang masih mencari tidak dinilai dengan standar komik yang sudah menemukan jati diri. Ini supaya kompetisi lebih fair. Kan repot. Sudah ndeso, ndak fair play lagi. Apa yang mau dibanggain?

Nah, komika-komika yang kami kira akan ngebomb, ternyata pecah! Sebaliknya, beberapa komika yang biasanya pecah, justru garing.

Dengan reputasinya, wajar bila kami berekspektasi. Krik-krik momen semalam entah karena ekspektasi kami yang terlalu tinggi, persiapan beliau-beliau yang kurang total, atau keduanya.

Apakah mereka kehilangan reputasi? Tergantung. Mereka komika yang hanya sekedar kehilangan LPM, atau komika yang kehilangan semangat?

Ada alasan tersendiri kenapa garing disebut ngebomb. Momen #KemudianHening setelah punchline itu ndak hening sama sekali di pikiran komika. Hening jenis ini justru gaduh. Seperti bom yang mampu merobohkan tiang-tiang keangkuhan sehingga komika kembali membumi. Komika diingatkan bahwa nama besar bukan jaminan.

Perlu sampeyan tahu, audience di open mic Magelang tu termasuk suportif. Ndak lucu? Ya ndak diketawain emang. Tapi ndak di-huuu-in. Minimal ditepuktanganin. Tanda apresiasi. Supaya tetap bersemangat. Semangat untuk turun panggung maksudnya. *dikeplak* Nah, kalo udah dapet penonton yang enak tapi masih krik-krik moment kan kita mesti berbenah total.

Jadi, setelah semalam kehilangan tawa, kami berharap mereka, komika bereputasi itu, kembali menemukan apa yang kini hilang; kepolosan dan keceriaan komika pemula. Komika tanpa reputasi. Komika yang saat dia pegang mic, tidak ada yang berharap dia akan lucu. Yang sekedar bisa naik panggung aja senengnya bukan main. Lucu syukur, garing ndak jadi soal. Kan bukan siapa-siapa.

Karena di luar dugaan, komika-komika yang masih fresh inilah yang semalam menunjukkan tajinya.

Mereka ini komika yang menyadari dirinya belum terbukti. Yang paham bahwa status kelucuan mereka masih diremehkan, sehingga tak meremehkan panggung. Maka, mereka selalu lapar untuk mempersiapkan diri. Mereka yang setelah ngebomb dengan riang berpikir,”Haha. Asem garing lagi. Besok biar lebih lucu gimana ya?” bukan hanya memusingkan,”Duh, mau ditaruh mana reputasiku?”

Jadi, kami berharap komika-komika enggal alias anyar gres ini punya daya tahan tinggi. Tidak hangat-hangat tahi lalat ayam. Belajar terus. Tingkatin LPM. Sowan ke yang sepuh-sepuh untuk menyerap ilmunya. Karena bukan tidak mungkin komika-komika baru inilah juara Komika Terakhir.

***

Secara keseluruhan, kami terhibur dengan materi-materi segar dari peserta. Beberapa mencoba memberi gimmick visual dengan menampilkan slide foto, musik, maupun poster. Keberanian untuk mengeksplorasi komedi inilah yang kami hargai.

Namun, kebosanan melanda saat menemukan kesamaan.

Dengan tema kemerdekaan, seperti yang bisa kita duga, bit-bit hanya berkisar soal lomba agustusan. Juga penjajahan Belanda atau Jepang. Padahal, kemerdekaan bisa diterjemahkan dalam segala hal di mana penindasan masih mewujud. Salah satu tur Pandji, Merdeka dalam Bercanda, jelas menunjukkan bahwa dalam canda pun, masih ada pengekangan.

Atau, pantengin saja twitter. Ada twit,”Merdeka itu bisa kepoin twit mantan tanpa jadi galau.” Ciptakan kelucuan dari situ.

Jadi, tema kemerdekaan ini sebenarnya bisa dibahas sangat luas. Eman-eman kalau hanya seputar agustusan dan penjajahan. Jangan hanya tema yang seputar kemerdekaan. Komikanya pun harus merdeka. Sehingga bisa mengulik lebih dalam.

Termasuk saat mentok ga dapet materi tentang kemerdekaan. Tinggal bilang,”Tema malam ini kemerdekaan ya. Tapi saya mau bahas soal kakek saya. Ini menunjukkan saya ini merdeka. Termasuk merdeka dari paksaan bahwa harus membahas soal kemerdekaan.”

Kemerdekaan haruslah dijiwai. Bukan hanya diketawai. Dengan begitu, komika yang tidak lolos, jiwanya tetap merdeka. Riang meyakini bahwa tertutupnya jalur di Komika Terakhir, justru akan membukakan jalan tawa lainnya. Takdir humor sampeyan di rute lain telah menanti.

Komika yang lolos pun mesti merdeka. Merdeka dari ilusi reputasi yang melenakan, persona yang mengekang, dan jebakan-jebakan rasa puas diri.

NB: Musik adalah tema Komika Terakhir berikutnya. Komika masih punya 2 minggu untuk persiapan. Undangan kami untuk Anda, tetap berlaku. Mari datang di hajat sederhana kami, Komika Terakhir.

NB Lagi: Baca juga posting tentang review acara semalam. Siapa saja yang tampil disertai komentar juri, serunya lomba makan krupuk, dan detil-detil lainnya.

PESERTA DAN JADWAL KOMIKA TERAKHIR

Halo, Cuma mau ngabarin jadwal Komika Terakhir nih. Cek juga siapa aja pesertanya. Terus, kalo kamu belum ngerti kenapa sih komunitas stand up comedy Magelang bikin iven seru ini, baca aja,”Ditolak Kompas? Bikin Sendiri Aja..”

No Tanggal Acara Jumlah Komika Tema dan Skill Durasi
1 22 – 8 – 2014 PRE-SHOW 31 Kemerdekaan 3 menit
2 5 – 9 – 2014 Putaran 1 15 (5 “berakhir”) Musik 3 menit
3 19 – 9 – 2014 Putaran 2 10 (4 “berakhir”) Teknologi +Riffing 3 menit
4 3 – 10 – 2014 BATTLE 6 (3”berakhir”) Transportasi + Roasting 3 + 2 menit
5 17 – 10 – 2014 Semi Final 3 (1 “out”) Fashion + Callback 4 + 3 menit
6 14 – 11 – 2014 Grand Final 2 Grand Finalis Olahraga + Bomb Slide

Sumpah Pemuda + Heckler handling

Entertainment + Bebas

5 menit

5 menit

5 menit

Nah, komika tangguh yang berani mempertaruhkan reputasinya yang ga ada adalah mereka ini

  1. Septian
  2. Choki Sihombreng Sitohang
  3. Ghifary Tidar Si Selebtwit
  4. Gilang Kecu
  5. Gilang Ariza N Brondong
  6. Agus Cuthang
  7. Rizal Gambot
  8. Jeje Geje
  9. Yoshua
  10. Rizky Soepahang
  11. Aberson Orson
  12. Fadilla Langsing
  13. Masna Abdullah
  14. Wenwen Galau The Quote Master
  15. Ahmad Mufid “Santri Figuran”
  16. Dedy Deday
  17. Aziz Herder
  18. Mirza Zamir
  19. Bangkit dari Kubur
  20. Andika John Thor
  21. Fahmi Sulap
  22. Gus Miro
  23. Igor Rainbowcake
  24. Udin Hambenk
  25. Anton Kudisanicus
  26. Amnuhu Amin Nur Huda
  27. Rossi
  28. Anye
  29. Nanas Titi
  30. Wax

Setelah perform, bakal ada review dari penampilan mereka. So, stay tune di blog ini ya 🙂

Ditolak Kompas? Bikin Sendiri Aja..

Selamat datang di babak baru stand up comedy Indonesia.

Tahap di mana semua komika tanpa terkecuali dapat berdiri sama tinggi dalam satu panggung tawa Indonesia.

Inilah masa “desentralisasi tawa” di mana tiap daerah pun memiliki kuasa tawanya masing-masing. Tanpa admirasi berlebih pada perhelatan stand up comedy nasional.

Sebuah babak kesetaraan yang membuat dikotomi komik Metro – Kompas, komik lokal – nasional, layaknya joke kodian yang hanya membuat kita gatal untuk berkata,“Bitch, please…”

Tapi, karena saya belum menyiapkan materi, saya akan menggunakan istilah komik lokal – nasional itu. Sekedar untuk memudahkan.

Menjadi cita-cita setiap komik agar bisa tampil di televisi nasional. Mengikuti audisi, menjadi peserta di berbagai lomba, atau datang di open mic kota-kota lain. Namun, apa mau dikata. Upaya menasionalisasi komik lokal Magelang ini belum sesuai harapan. Setidaknya untuk saat ini.

Karena itu, kami berbenah. Kembali melihat titik lemah maupun potensi keunggulan kami. Dalam keterbatasan, kami justru dapat kembali fokus. Hingga kami melihat tenaga-tenaga dalam jiwa kami yang tadinya tertutup nafsu untuk segera menasional.

Aliran chi kami terbuka.

Bang Gilang sebagai pendiri komunitas stand up comedy Magelang. Dengan ambisi dan kreasinya mampu menghasilkan konsep-konsep mini show yang hanya ada satu-satunya di dunia.

Bang Wenwen selaku ketua komunitas mampu menjelaskan visi komunitas dan tekun menyinergikan potensi komika yang terus bersemangat.

Bang Berto selaku mantan ketua yang kini sudah menikah.

Para anggota komunitas yang terus berkarya dengan caranya masing-masing. Para penikmat tawa yang terus hadir meski performa kami tak selalu sempurna.

Munculah bintang-bintang baru. AgusDedy, Tidar, Rosi, Michael, Masna, Fadil, Jeje. Lahirlah Tapok Kecu, Just Amma, DTJC, ABeGe, LOTR, THR, Stand up Nite.

Mulailah berdatangan gigs dari Magelang maupun luar ndeso kami. Mengalirlah ekspresi kegelisahan komika lewat berbagai medium tawa. Ada yang fokus menjadi selebtwit galau-koplak. Ada yang mengkreasi video laiknya Bayu Skak. Ada pula yang berteater, menulis, nge-blog, atau pun membuat radio show komedi meski sederhana.

Dukungan dari komunitas-komunitas lain menguat. Kami juga berterima kasih pada Rainbow Cake band atas bantuannya.

Karena kami percaya dengan keindahan gubuk tawa kami, kami terus berkarya. Belum sempurna memang. Tapi setiap hari, kami menguatkan diri.

Anda kagum? Jangan. Karena saya pun heran (pake “heran” supaya terdengar seperti komika),”Kok bisa?” Padahal banyak di antara mereka yang sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Jumlah pelajar yang aktif di komunitas pun makin banyak.

Semakin mereka sibuk dengan dunia mereka masing-masing, semakin mereka ingin kembali ke komunitas. “Rasanya kurang kalau belum kumpul komik.” Kalau Anda pernah menonton film Fight Club, pasti paham. Semua anggota komunitas punya kesibukan masing-masing, tapi mereka selalu ketagihan untuk berkumpul di Fight Club. Entah untuk bertarung atau sekedar bersorak sorai. Kami bersyukur Tuhan menularkan spirit FAIGKK! itu pada komunitas kami.

Oya, ada kelakar dari kawan kami di grup FB,”Ga ditelepon Kompas TV? Ya bikin sendiri.”

Ya, kami seperti jomblo yang ditolak. Sempat sedih, tapi kami lekas move on. Berbahagia dengan kesendirian. Kami bangga dengan ke-ndeso-an kami. Lalu tanpa kami sadari, kami menjadi pemuda single ndeso tapi berkualitas yang menarik banyak gadis.

Cara pandang kami berubah. Kami tetap semangat menasional. Kami tetap ingin lolos audisi, menjadi juara lomba-lomba, disorot media. Tapi tidak dalam kacamata orang desa minder yang baru pede kalo bisa naklukkin kota.

Kami komunitas ndeso yang percaya diri. Yang mengunjungi kota hanya untuk bersenang-senang dan berbelanja pengalaman. Karena, kami pun bisa tertawa dengan bahagia di ndeso kami sendiri.

Untuk kawan-kawan kutho, nasional, internasional, atau sesame (sesama. Damn autocorrect) ndeso yang selo, silakan datang ke ndeso kami. Mari mencicipi tawa khas ndeso kami, yang tidak akan Anda dapatkan, selain dari kami. 🙂

Dengan segala kerendahan hati, kami mengundang kamu untuk meramaikan perhelatan sederhana kami, KOMIKA TERAKHIR.

Kamu, iya kamu.

Itu lho, yang ngintipin kamu dari balik pundak dari tadi….

NB: Dapatkan info terupdate seputar Komika Terakhir dengan kembali blog ini. Karena blog ini akan diupdate SETIAP HARI! Ya, setiap hari! Dan, pengunjung yang beruntung akan mendapat hadiah pulsa senilai 50 ribu dengan rajin menulis komentar. So, be ready! Bookmark and open StandUpComedyMagelang.WordPress.com daily!

Hell No… It’s just a joke.